Andrie wongso, December 15, 2015
Suatu kali, sebuah keluarga yang cukup harmonis mengalami ujian yang cukup sulit. Sang ayah yang merupakan pencari nafkah satu-satunya, sakit keras. Karena itulah, sang ibu dan dua anak kembar mereka yang masih berusia belasan, terpaksa harus bekerja keras. Sang ibu membuat kue, dan kedua anak mereka menjualnya sembari berangkat ke sekolah.
Dalam masa enam bulan itu, kondisi sang ayah terus memburuk. Hingga suatu hari, ia memanggil istri dan kedua anak kesayangannya. “Istriku, waktuku sepertinya sudah tak lama lagi. Terima kasih sudah mendampingiku selama ini dan mendidik kedua anak kita dengan baik. Tolong jaga mereka,” kata sang ayah. “Anakku yang sangat kusayangi. Aku juga berpesan dua hal kepada kalian. Pertama, jangan pernah menagih piutang kalian. Kedua, jangan biarkan diri kalian terbakar sinar matahari.”
Kedua anak itu saling berpandangan. Mereka pun bertanya, ”Apa maksud ucapan Ayah?” Namun belum sempat dijawab, sang ayah sudah mengembuskan napas terakhirnya. Mereka pun menangisi kepergian orang yang sangat mereka cintai, sembari memikirkan, apa maksud pesan terakhir sang ayah.
Waktu berganti, tahun-tahun pun berlalu. Kedua pemuda kembar itu telah berpisah untuk mencari jalan hidupnya masing-masing. Hingga suatu hari, ibu mereka berniat untuk mengunjungi kedua anaknya yang tinggal berjauhan.
Kali pertama, sang ibu mendatangi anak kedua. Saat itu, ia baru tahu, mengapa anak keduanya kerap mengeluh di surat yang selalu dikirimnya. Dia hidup miskin, tubuhnya kurus kering. Ia pun bertanya, “Anakku, mengapa kamu bisa mengalami kondisi seperti ini?” tanyanya.
“Ibu… saya hanya menjalankan pesan ayah.” Jawabnya. “Yaitu, jangan pernah menagih piutang dan jangan sampai terbakar matahari. Pesan pertama saya laksanakan! Setiap ada yang berutang, saya tak pernah menagihnya kecuali mereka sendiri yang membayar. Dan, itu membuat banyak orang yang berutang malah tak pernah membayar. Yang kedua, karena tak boleh terbakar sinar matahari, ketika sedang ada uang, saya gunakan semuanya untuk membeli mobil sendiri. Akibatnya, saat ini uang saya tidak pernah cukup,” sebut si anak kedua memelas.
Si ibu yang kasihan, lantas meminta si anak kedua ikut kembali tinggal bersamanya. Namun, sebelum itu, ia ingin menemui anak pertamanya. Ternyata, dia hidup sukses dan bahagia.
Apa yang membuat kondisi anak pertama sangat berbeda dengan anak kedua? Si anak pertama pun menjawab, “Ibu, saya hanya menjalankan pesan yang diberikan ayah dulu. Waktu itu, ayah meminta saya tidak boleh menagih piutang. Maka, saya pun berusaha semaksimal mungkin tidak pernah membiarkan orang berutang. Untuk setiap barang yang saya jual, saya wajibkan untuk bayar di awal. Kemudian untuk mematuhi pesan kedua, saya selalu pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang saat sudah malam. Saya pun bisa memaksimalkan waktu untuk bisa mencapai hasil hingga seperti sekarang.”
Sang ibu mengangguk-angguk perlahan. Rupanya dua anak kembar itu punya perbedaan cara pandang dalam menerima pesan sang ayah, yang belum sempat dijelaskan. Perbedaan itulah yang membuat mereka punya nasib yang berbeda.
Netter yang LuarBiasa,
Dalam kisah ini, sangat jelas bahwa pola pikir (positif atau negatif) akan memberi dampak yang berbeda pula. Hal yang sama bisa terjadi pada kita. Suatu kondisi dan keadaan yang menimpa (misalnya krisis) akan memberi hasil yang berbeda jika kita bisa mengubah sudut pandang menjadi lebih positif. Sebab, dengan pola pikir yang positif, kita akan mempunyai cara berpikir yang lebih luas untuk memperbaiki keadaan. Saat gagal, bisa menjadi momen untuk belajar memperbaiki apa yang salah. Saat terjatuh, bisa menjadi masa mengevaluasi diri agar mampu bangkit lagi.
Mari, kita perbaiki sudut pandang kita terhadap segala hal yang kita jumpai, dengan pola pikir yang selalu positif. Sehingga, setiap hasil apa pun yang kita dapati, dapat menjadi hal yang selalu penuh arti.
Salam sukses, Luar Biasa!
________________________
*) Seperti termuat dalam Harian SINDO. Senin 23 Februari 2015, hlmn. 19 (rubrik Ekonomi dan Bisnis)
Suatu kali, sebuah keluarga yang cukup harmonis mengalami ujian yang cukup sulit. Sang ayah yang merupakan pencari nafkah satu-satunya, sakit keras. Karena itulah, sang ibu dan dua anak kembar mereka yang masih berusia belasan, terpaksa harus bekerja keras. Sang ibu membuat kue, dan kedua anak mereka menjualnya sembari berangkat ke sekolah.
Dalam masa enam bulan itu, kondisi sang ayah terus memburuk. Hingga suatu hari, ia memanggil istri dan kedua anak kesayangannya. “Istriku, waktuku sepertinya sudah tak lama lagi. Terima kasih sudah mendampingiku selama ini dan mendidik kedua anak kita dengan baik. Tolong jaga mereka,” kata sang ayah. “Anakku yang sangat kusayangi. Aku juga berpesan dua hal kepada kalian. Pertama, jangan pernah menagih piutang kalian. Kedua, jangan biarkan diri kalian terbakar sinar matahari.”
Kedua anak itu saling berpandangan. Mereka pun bertanya, ”Apa maksud ucapan Ayah?” Namun belum sempat dijawab, sang ayah sudah mengembuskan napas terakhirnya. Mereka pun menangisi kepergian orang yang sangat mereka cintai, sembari memikirkan, apa maksud pesan terakhir sang ayah.
Waktu berganti, tahun-tahun pun berlalu. Kedua pemuda kembar itu telah berpisah untuk mencari jalan hidupnya masing-masing. Hingga suatu hari, ibu mereka berniat untuk mengunjungi kedua anaknya yang tinggal berjauhan.
Kali pertama, sang ibu mendatangi anak kedua. Saat itu, ia baru tahu, mengapa anak keduanya kerap mengeluh di surat yang selalu dikirimnya. Dia hidup miskin, tubuhnya kurus kering. Ia pun bertanya, “Anakku, mengapa kamu bisa mengalami kondisi seperti ini?” tanyanya.
“Ibu… saya hanya menjalankan pesan ayah.” Jawabnya. “Yaitu, jangan pernah menagih piutang dan jangan sampai terbakar matahari. Pesan pertama saya laksanakan! Setiap ada yang berutang, saya tak pernah menagihnya kecuali mereka sendiri yang membayar. Dan, itu membuat banyak orang yang berutang malah tak pernah membayar. Yang kedua, karena tak boleh terbakar sinar matahari, ketika sedang ada uang, saya gunakan semuanya untuk membeli mobil sendiri. Akibatnya, saat ini uang saya tidak pernah cukup,” sebut si anak kedua memelas.
Si ibu yang kasihan, lantas meminta si anak kedua ikut kembali tinggal bersamanya. Namun, sebelum itu, ia ingin menemui anak pertamanya. Ternyata, dia hidup sukses dan bahagia.
Apa yang membuat kondisi anak pertama sangat berbeda dengan anak kedua? Si anak pertama pun menjawab, “Ibu, saya hanya menjalankan pesan yang diberikan ayah dulu. Waktu itu, ayah meminta saya tidak boleh menagih piutang. Maka, saya pun berusaha semaksimal mungkin tidak pernah membiarkan orang berutang. Untuk setiap barang yang saya jual, saya wajibkan untuk bayar di awal. Kemudian untuk mematuhi pesan kedua, saya selalu pergi pagi-pagi sekali dan baru pulang saat sudah malam. Saya pun bisa memaksimalkan waktu untuk bisa mencapai hasil hingga seperti sekarang.”
Sang ibu mengangguk-angguk perlahan. Rupanya dua anak kembar itu punya perbedaan cara pandang dalam menerima pesan sang ayah, yang belum sempat dijelaskan. Perbedaan itulah yang membuat mereka punya nasib yang berbeda.
Netter yang LuarBiasa,
Dalam kisah ini, sangat jelas bahwa pola pikir (positif atau negatif) akan memberi dampak yang berbeda pula. Hal yang sama bisa terjadi pada kita. Suatu kondisi dan keadaan yang menimpa (misalnya krisis) akan memberi hasil yang berbeda jika kita bisa mengubah sudut pandang menjadi lebih positif. Sebab, dengan pola pikir yang positif, kita akan mempunyai cara berpikir yang lebih luas untuk memperbaiki keadaan. Saat gagal, bisa menjadi momen untuk belajar memperbaiki apa yang salah. Saat terjatuh, bisa menjadi masa mengevaluasi diri agar mampu bangkit lagi.
Mari, kita perbaiki sudut pandang kita terhadap segala hal yang kita jumpai, dengan pola pikir yang selalu positif. Sehingga, setiap hasil apa pun yang kita dapati, dapat menjadi hal yang selalu penuh arti.
Salam sukses, Luar Biasa!
________________________
*) Seperti termuat dalam Harian SINDO. Senin 23 Februari 2015, hlmn. 19 (rubrik Ekonomi dan Bisnis)
Komentar
Posting Komentar